My FLP, My First Love

Senin, 26 September 2016

My FLP, My First Love Power

My FLP, My First Love Power
       Oleh Apen McCalister
Bagi orang yang pernah jatuh cinta, mungkin cinta pertama akan selalu terkenang manis. Segalanya terasa indah. Hidup menjadi seperti  musim semi di Jepang yang serba bunga sakura. Mungkin begitulah perasaan saya mengenal FLP, alias Forum Lingkar Pena. Di situlah desir-desir cinta hadir. Ngomong-ngomong soal cinta, Anda tahu Dr.Helen Fisher? Ia adalah seorang Biological Anthropologist yang melakukan penelitian terhadap cinta pandangan pertama. Penelitian itu didapatkan 41% pria dan 29% wanita mudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Karena saya lelaki, mungkin itulah alasan saya jatuh cinta pada pandangan pertama pada FLP. Hehehe...
Mengenal FLP adalah bagian terindah dalam hidup saya. Kenapa? Akhirnya raksasa dalam tubuh ini (baca:jiwa) bisa bangun kembali setelah beberapa tahun tidur. Saya hampir melupakan dunia kepenulisan yang begitu saya gemari karena harus berkubang dalam dunia kerja. Yah, ibaratnya kehadiran FLP seperti oase di gurun pasir.
Ngomong-ngomong soal FLP, saya baru tahu belum lama ini. Bermula dari kegelisahan diri yang ingin terus menulis namun masih kebingungan akan ilmunya, akhirnya saya berkenalan dengan FLP di facebook. Waktu itu sedang open recruitment untuk angkatan baru. Tanpa ba bi bu saya langsung daftar. Dan kini, saya anggota pramuda angkatan 13 FLP Bekasi. By the way, nama saya Apen McCalister.
Tahukah Anda? Tembok China bisa berdiri gagah karena apa? Karena kecintaan sang penguasa terhadap negerinya. Taj Mahal bisa berdiri megah karena apa? Karena kecintaan seorang suami kepada istrinya. iPod, iPad, dan iPhone bisa hadir karena apa? Karena kecintaan sang founder terhadap teknologi. Lalu mengapa saya berada di tengah-tengah FLP? Karena kecintaan saya terhadap dunia tulis-menulis. Dengan slogan berbakti, berkarya, berarti FLP telah menebarkan kebaikan untuk negeri ini. Dan saya yakin sebuah sejarah besar hanya akan bisa diukir oleh orang yang membawa cinta yang besar.
FLP memberi power, kekuatan yang nyata. Buktinya saya kembali aktif menulis dengan gairah baru, semangat baru. Berkat dukungan teman-teman pramuda, kami semua saling mengingatkan untuk tetap menulis. Meneguk ilmu tulis-menulis, meraup pengalaman-pengalaman mentor, dan menemukan karakter-karakter kami. Imam Al-Ghazali berkata:: Kalau engkau bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis. Maksudnya walaupun kita bukan siapa-siapa namun memiliki tulisan yang menginspirasi, ketika sudah meninggal pun nama kita akan tetap hidup selamanya. Keren ‘kan? Hehehe. Hayo siapa yang mau?
Hari-hari terus bergulir, kegiatan merangkai kata-kata mulai kembali digeluti. Menulis artikel, cerpen, resensi, dan lain sebagainya. Berbagai event lomba mulai diikuti. Alhamdulillah, walaupun belum mendapat yang terbaik namun koleksi buku selalu bertambah karena dapat juara harapan. Contohnya buku-buku karya anggota FLP seperti Kitab Cinta & Patah Hati oleh Sinta Yudisia, Meski Cinta Saja Tak Pernah Cukup oleh Deasylawati, A Cup of Tarapuccino oleh Riawani Elyta & Rika Y. Sari, dan lainnya.
Sebelum mengenal FLP, obsesi saya adalah menjadi penulis buku terkenal dan best-seller. Padahal inti dari seorang penulis bukan begitu. Kak Sudi (Ketua FLP Jakarta) pernah bilang: Jangan menulis karena hanya ingin terkenal dan best-seller. Tapi menulislah seperti slogan FLP. Berbakti, berkarya, berarti. Berbakti, menulislah untuk berbakti pada negeri dan agama tercinta. Berkarya, menulislah untuk memiliki karya terbaik. Dan berarti, menulislah agar tulisan kita berarti dan menginspirasi orang banyak. Terkenal dan best-seller hanyalah efek ketika kita melakukan itu semua.

Melalui FLP saya lebih bisa memandang ke depan. Berani bermimpi besar, menantang masa depan. Saya hanya ingin menulis, memberikan banyak manfaat dan inspirasi melalui buku-buku saya nanti. Itulah mimpi saya, proposal hidup saya. Suatu saat ketika mimpi-mimpi itu benar-benar menjadi kenyataan, maka FLP lah menjadi garda terdepan atas keberhasilan itu. Bagi saya FLP bukan sekedar wadah untuk menulis, but FLP, you are truly my first love power.

Rabu, 24 Agustus 2016

Sandal Jepit Papa

Sandal Jepit Papa
Apen McCalister


“Bro, jangan lupa minggu depan ulang tahunnya Adila. Kita harus tampil keren di pestanya. Kita harus beli baju baru, sepatu baru, biar terlihat macho di depan Adila dan cewek-cewek.” suara dari telepon itu adalah Fery, temannya.
“Ok bro. Ini juga kesempatan terbaik untuk nembak Adila.”
Mobil sedan Camry memasuki pelataran rumah megah bercat putih itu. Lalu Hamdan, anak kelas dua belas SMA favorit di Jakarta itu, langsung berlari meninggalkan sopirnya, Pak Iman. Entah ada apa ia begitu terburu-buru.
“Pa, Papa...” matanya berlarian mencari papa. Huhh..yang ada malah Bi Jarni.
“Papa di mana, Bi?” tanyanya pada Bi Jarni yang sedang menyapu lantai. Kemudian Bi Jarni mengarahkan mata belonya ke pekarangan, Hamdan mengerti.
“Pa, Papa...”
“Kamu ini kebiasan kalau pulang. Jarang mengucap salam. Papa kan sudah mengingatkan berkali-kali.”
“Mmm maaf, Pa. Tadi buru-buru” Hamdan beralasan. Papanya paham betul kalau tiba-tiba anaknya mencarinya. Pasti ada maunya. Yang sudah-sudah juga minta dibelikan sesuatu.
“Ada apa?”
“Mmmm ini, Pa. Aku mau minta dibelikan sepatu baru. Temanku ada yang mau ulang tahun. Malu kan kalau aku pakai sepatu yang lama ke acara ulang tahunnya.”
“Bulan lalu kamu baru saja beli. Masa sudah mau beli lagi. Jangan buang-buang uang!”
“Lihat ini sandal papa!” lalu Hamdan melihat sandal jepit butut papanya. Nampaknya sandal jepit yang sudah bosan putus itu terus dirawat hingga banyak kawat-kawat yang mengikatnya. Warnanya sudah tidak karuan, sepertinya sudah tua.
“Papa tidak pernah membeli sandal jepit lagi. Ini adalah sandal jepit papa satu-satunya. Lalu kenapa kamu yang punya banyak sepatu bagus masih minta dibelikan lagi?”
“Papa memang tidak mengerti! Ini masalah gaya. Papa kampungan!” lalu berseloroh pergi.
Hamdan langsung ke kamar membanting pintu sekerasnya. Lalu melempar tasnya sembarangan. Padahal ia tahu papanya memiliki banyak uang. Papanya adalah pengusaha kaya raya yang memiliki salah satu gedung pencakar langit di Jakarta. Asetnya bertebaran di beberapa kota Indonesia.
Hamdan memang selalu ingin tampil gaya. Semua barang-barang yang dipakainya sudah pasti harganya selangit. Papanya tidak ingin memanjakan anak semata wayangnya lagi. Sudah cukup. Sudah sepantasnya ia belajar menghargai kerja keras papanya dan tidak menghambur-hamburkan uang.
Esoknya papa sakit. Puluhan dokter dipanggil untuk mengobatinya namun tak ada satu pun yang mampu. Mereka pun angkat tangan dan menyerah. Papanya sadar mungkin ini saat-saat terakhir hidupnya di dunia. Dadanya semakin sesak. Napasnya semakin berat. Ia sudah tidak kuat lagi.
Hamdan, tolong nanti jika papa meninggal pakaikan sandal jepit kesayangan papa di kaki papa pada saat dimakamkan. Sandal jepit ini adalah sandal yang paling papa sayangi, sandal ini papa beli ketika merintis bisnis hingga sukses sampai sekarang.” Pesan papa kepada Hamdan.
Tidak lama dari itu, papanya benar-benar meninggal. Tetangga dan kerabat mulai ramai untuk takziah. Hamdan masih tidak percaya papanya pergi secepat ini. Air matanya diam-diam mengalir dari pelupuk matanya. Ia tidak pernah sesedih ini sebelumnya.
Ustadz Sudi memberi komando agar jenazah segera dikuburkan.
“Pak Ustadz, boleh saya bicara sebentar?” Ustadz Sudi tersenyum, “Silakan!” Hamdan menceritakan apa yang diamanatkan papa kepadanya. Ya, memakaikan sandal jepit pada jenazahnya. Namun, Ustadz Sudi menolak keras. Tidak boleh ada satu barang pun yang boleh di bawa ke dalam kubur kecuali kain kapan.
Hamdan tetap memaksa. Entah bagaimana caranya amanat papanya bisa dilaksanakan. Karena ia pikir inilah cara ia berbakti terakhir kalinya untuk sang papa. Namun Ustadz Sudi terus menolak dan tidak mengindahkan permintaannya.
Tiba-tiba datanglah Bu Noor, tangan kanan papanya. Ia menyodorkan sebuah surat.
“Buka dan bacalah. Ini adalah wasiat dari papamu. Beliau meminta saya untuk memberikan surat ini saat beliau sudah tiada.
Untuk anakku,
Nak, kamu pasti sedang bingung karena tidak dapat memenuhi permintaan papa untuk memakaikan sandal jepit di jenazah papa. Sebenarnya permintaan papa ini hanya ingin mengingatkan kamu, jika kita meninggalkan sandal jepit saja tidak dapat ikut dibawa ke liang kubur. Jadi, janganlah menyibukan diri dengan dunia sehingga lupa dengan apa yang akan kamu hadapi nanti yaitu kematian. Karena kematian pasti datang ketika kamu siap atau tidak. Maka bersiaplah selalu menyambutnya,

Papa

Kamis, 09 Juni 2016

#Al-Quran vs Handphone

Ramadhan sudah masuk hari keempat saja. Duh baca Qur’annya sudah sampai juz berapa ya? Kira-kira kalau ditanya, lebih kuat mana, mantengin Qur’an atau handphone? Jangan cengar-cengir. Atau pura-pura sok bingung mencari jawaban. Sudah jawab saja. Saya tahu muka-muka seperti Anda ini suka garuk-garuk kepala kalau ditanya kayak begitu. Hehehe. Becanda. Jangan dikira serius. Anggap saja saya memang beneran. Hehehe.
Kalau dijawab lebih kuat mantengin Qur’an nanti bohong banget, kalau dijawab lebih kuat mantengin handphone memang benar adanya. Kan jadi serba salah. Hahaha. Jangan marah, ingat puasa!
Niatnya sih mau mencari informasi tapi ujung-ujungnya:
·         Buka facebook
·         Main twitter
·         Upload foto di instagram
·         Chatting di WhatsApp, BBM, Line
·         Kepo status orang
·         Hayo, Anda seperti ini tidak?
Memang handphone (melalui internet) bisa memberikan informasi apapun yang kita inginkan. Akan tetapi, informasi itu hanya sebatas pengetahuan. Beda dengan Al-qur’an, isinya adalah petunjuk, pedoman, atau guidance hidup yang benar. Firman Allah langsung, Allah sendiri yang mengatakan.
“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Bacalah olehmu Al-qur'an, sesungguhnya ia akan menjadi pemberi syafaat pada hari kiamat bagi para pembacanya (penghafalnya)" HR.Muslim
Sebenarnya dekat dengan Al-qur’an itu banyak sekali keuntungannya, hanya kita saja yang kadang belum tahu atau tidak mau tahu. Kehidupan yang bahagia, ketenangan hati, bahkan surga dunia dan akhirat pun bisa didapatkan.
Selama ini kita berpikir selalu merindukan surga atau ketika meninggal nanti bisa masuk surga. Tapi mengapa kita tidak berpikir untuk dirindukan surga? Tahukah Anda tentang 3 orang yang dirindukan surga?
·         -Orang yang gemar membaca Al-qur’an
·         -Orang yang menjaga lidah
·         -Orang yang gemar bersedekah
Suatu ketika dalam sebuah pengajian, seorang ustadz berbicara mengenai manfaat membaca Al-qur’an. Walaupun hanya dengan membaca saja tanpa pemahaman, Al-qur’an membawa manfaat yang luar biasa.
·         Pertama dari segi pahala (kebaikan) yang kita peroleh, satu huruf akan di nilai 10 kebaikan. Berapa banyak kebaikan yang kita peroleh jika kita membaca 1 surat?
·         Kedua, membaca Alquran dapat membersihkan hati manusia yang membacanya.Ya, hanya membacanya saja.

Walaupun kita tidak mengetahui arti dari bacaan Al-quan yang kita baca. Disinilah analogi yang di sampaikan oleh udztad tentang dahsyatnya membaca alquran. Mengapa hanya dengan membacanya saja Alquran dapat memberikan manfaat yang luar biasa. Sedangkan apabila kita membaca buku atau novel yang notabene bahasanya tidak kita mengerti maka kita tidak memperoleh apa-apa artinya sia-sia belaka. Tetapi membaca Alquran dapat memberikan kedahsyatan yaitu dapat membersihkan hati manusia yang membacanya.

Seorang kakek di Amerika yang beraagama islam selalu membaca Al-quran setiap hari, padahal kakek itu tidak mengertiapa yang ia baca karena ia tidak memahami bahasa Arab.

Tapi kakek itu terus saja membaca Al-quran dengan rajin setiap harinya. Suatu ketika cucu kakek tersebut bertanya kepadanya : Mengapa kakek selalu membaca Al-quran padahal kakek tidak tahu artinya? Bukankah sia-sia saja pekerjaan kakek itu? Lalu sang kakek menjawab dengan bijak : ” Tidak ada yang sia-sia dalam membaca  Al-quran cucuku”. Lalu sang kakek mengajak cucunya  kengudang dan menyuruhnya mengambil keranjang yang ada di dalam gudang tersebut.

”Coba kamu ambil keranjang itu dan ambillah air yang ada di kolam (di depan mereka ada sebuah kolam yang berisi air)“.

Lalu cucunya mengambil air di kolam tersebut dengan keranjang. Pertama ia mengambilnya maka air kolam tidak ada yang ia dapatkan. Ya, karena tahu sendiri kan bagaimana keranjang yang  bolong-bolong dan tidak mungkin dapat tertampung air di dalamnya.

Lalu ia berkata pada kakeknya,” Kakek apakah yang  saya lakukan ini adalah pekerjaan sia-sia ?”
“Lakukan sekali lagi !”Maka cucunya pun melakukannya lagi, dengan berbagai cara, berlari, berjalan perlahan, tapi tidak setetes air pun yang ia dapatkan. Lalu ia bertanya lagi.

“Buat apa kakek menyuruh saya mengambil air dengan keranjang ini, bahkan tak satu tetes air pun yang saya dapatkan.”

 Lalu kakek berkata pada cucunya ” Cucuku yang aku sayangi. Begini.. coba perhatikan  keranjang yang kamu gunakan untuk mengambil air di kolam itu, bagaimana bentuknya?”

Cucunya menjawab : ” Bersih dan kinclong, kek”.

Kakek berkata ”Cucuku, bukankah tadi  pada saat kamu mengambil keranjang itu dalam keaadaan hitam dan penuh debu?. Dan sekarang keranjang itu sudah bersih dan tidak kotor sama sekali. Walaupun tidak ada air yang kamu dapatkan, tapi keranjang yang kamu gunakan untuk mengambil air tersebut menjadi bersih.

“Begitulah perumpamaan membaca Alquran, walaupun  hanya membacanya saja tapi kakek selalu membacanya dengan sering dan berul-ang, maka tidak akan sia-sia yang kakek  lakukan. Karena dengan membaca Al-quran akan membuat  hati tenang dan bersih (jauh dari prasangka dan pikiran buruk ) seperti keranjang yang kamu bawa tadi.”

Jadi seperti itulah analogi tentang dahsyatnya membaca Alquran. Hanya dengan sering membacanya saja akan membuat hati manusia menjadi bersih. Apalagi jika kita membaca arti dan memahami isi Alquran, pasti kita akan mendapatkan kedahsyatan yang lebih dari sekedar membacanya saja. Semoga di bulan ramadhan ini dapat menjadi momen kita untuk meningkatkan amal kita dengan membaca Al-quran, dan kebiasaan membaca Al-quran dapat kita teruskan di luar bulan ramadhan. Amiiiin.

Salam-Apen McCalister



Jumat, 27 Mei 2016

Main Game? Boleh atau Tidak?

Sebentar lagi ujian kenaikan kelas, lalu ambil raport. Setiap pembagian raport selalu saja ada orangtua murid yang curhat ke saya kalau anaknya sering banget main game. Tidak hanya pembagian raport sih, kadang orang tua siswa sering curhat saat istirahat zuhur sambil mengantar makanan untuk anaknya. Masalahnya hampir sama kalau tidak game, ya mainan HP.
Anak-anak zaman sekarang memang tidak bisa terlepas dari yang namanya game. Namun masalahnya  game yang mereka mainkan sama sekali buruk untuk mereka. Salah satunya GTA. Padahal game tersebut diperuntukkan untuk usia 17 tahun ke atas, meski fakta di lapangan  justru banyak anak di bawah umur yang memainkannya. Seperti diketahui GTA menampilkan kekerasan yang brutal, sumpah serapah, penggunaan narkoba, bahkan adegan seks terbuka.
Anak boleh bermain game. Game adalah alat dan alat itu netral. Yang membuat tidak netral adalah jenis dan isi dari game-nya. Jenis-jenis game yang isinya mengandung kekerasan dan pornografi tentu perlu mendapat perhatian khusus dari kita sebagai guru dan orang tua.
Namun, bila ditanya apakah game kekerasan sama sekali tidak boleh dimainkan oleh remaja kita, saya pribadi sebenarnya menjawab tidak. Masalahnya, game seperti juga gadget lainnya, tidak bisa dihilangkan. Bila kita melarang mereka bermain di rumah, mereka bisa mencari sendiri di luar. Apalagi yang kita bicarakan di sini adalah remaja.
Kemudian apa yang harus kita lakukan? Bermainlah bersama mereka. Jadi, orangtua tidak hanya harus tahu game apa yang dimainkan anaknya, tetapi juga bermain bersama agar paham betul apa isi dan tayangan game ini. Saat mendampingi anak bermain, Anda bisa menerjemahkan game itu pada anak dalam bentuk baik buruk.
Misalnya, ketika bermain game Counter Terror, game melawan teroris  dan menyelamatkan sandera, Anda bisa berdiskusi dengan anak: apa yang dimaksud dengan teroris, kenapa bisa ada teroris dan bagaimana pandangan kita. Atau ketika melihat granat dan aneka senapan, kita juga bisa berdialog dengan anak soal jenis-jenis senjata dan bagaiman saja senjata itu digunakan oleh para polisi antiteror. Kemudian apabila anak menemukan kekerasan dalam kehidupan nyata, apa yang sebaiknya ia lakukan.
Terus bagaimana kalau orangtua sibuk dan tidak bisa mendampingi anak?
Tiap manusia punya waktu yang sama: 24 jam sehari. Jangan fokus pada “kapan tidak bisanya?”, tapi fokuslah pada “kapan bisanya?”. Tidak mungkin kalau orangtua sama sekali tak punya waktu. Bahkan orang sesibuk presiden pun punya waktu untuk keluarganya.
Persoalannya bukan “tidak punya waktu”, tetapi “mau atau tidak”. Bila mau, Anda pasti akan mengupayakan waktu untuk bermain bersama anak. Bila tidak mau, kesibukan selalu bisa dicari agar tidak ada waktu bermain dengan anak.

Bila hanya punya waktu di akhir pekan, ya bermainlah di waktu itu. Selain akhir pekan, berarti anak tak boleh bermain game tersebut. Jadi tak ada alasan “tidak punya waktu”, bukan?

Senin, 16 Mei 2016

Berkaca Pada Salman-Al-Farisi

Tulisan ini saya ketik sambil membantu istri saya membuat kue. Bantu buat kue sekaligus menulis. Yah, sambil menyelam sambil minum air, airnya segalon. Hehehe. Dan juga, saya menulis tidak lain untuk menyinari dunia dengan tulisan saya. Saya berharap para pembaca dan saya khususnya, bisa mengambil hikmah dari setiap tulisan yang saya tulis.
Di umur yang sekarang, saya sama sekali belum membuat ibu saya bahagia. Padahal beliau sudah semakin sepuh. Malu, malu rasanya. Ingat waktu kecil dulu, saya sering membentaknya, bepergian sering tidak ijin, merengek-rengek minta mainan, menyuruh-nyuruhnya, entah dosa sebanyak apa yang sudah saya lakukan kepadanya. Tapi beliau tidak pernah marah. Senyumannya terus mengalir untuk saya. Malah beliau sering mendoakan saya.
Ibu saya mulai menua. Bukannya membahagiakan, malah masih sering menyusahkannya. Bahkan belum mampu memberi yang terbaik baginya. Ampuni saya ibu. Saya jadi malu sekaligus tertampar dengan kisah Salman Al-Farisi. Usahanya sangat luar biasa untuk membahagiakan ibunya. Namun, sehebat apapun pengorbanan anak tidak akan pernah mampu membalas kebaikan ibunya.
Suatu hari, Nabi Muhammad ditanya oleh sahabatnya, “Ya Rasulullah, adakah orang yang paling disayangi oleh Allah SWT selain Engkau?”
Nabi menjawab, “Ada, yaitu Salman al Farisi.”
“Kenapa dia begitu disayang Allah?”
Kemudian Nabi bercerita bahwa Salman Al Farisi adalah orang yang berasal dari keluarga miskin sementara ibunya sangat ingin naik haji. Tetapi apalah daya, untuk berjalanpun dia tidak bisa. Ditambah lagi uang untuk pergi ke Tanah Suci pun tidak dipunyainya. Salman Al Farisi begitu bingung menghadapi kondisi itu. Namun akhirnya, dia memutuskan untuk mengantar ibunya naik haji dengan cara menggendong ibunya dari suatu tempat yang begitu jauh dari Mekkah. Diperlukan waktu berhari-hari untuk melaksanakan perjalanan itu sehingga tanpa terasa punggung Salman al-Farisi sampai terkelupas kulitnya.
Saat itu, ibunda Salman sedang sakit dan tidak memungkinkan untuk berjalan sendiri. Terik matahari siang dan dingin udara malam merupakan dua hal yang tidak bisa dihindari dalam perjalanan Salman menggendomng ibundanya sampai Makkah.  Satu hal yang menyemangatinya adalah keinginannya untuk membahagiakan ibunya, mengantarnya menuju tanah impian, kota Makkah.
Ketika akhirnya mereka sampai di kota Mekah untuk melaksanakan ibadah Haji, mereka bertemu dengan Rasulullah. Lengkaplah sudah kebahagiaan Salman beserta sang ibu ketika bertemu dengan manusia pilihan Utusan Tuhan yang sangat mereka cintai dan mereka rindukan.
Ketika itu, sang anak bertanya kepada Rasul, “Ya Rasul, apakah saya sudah berbakti kepada orang tua saya? Saya menggendong ibu saya di pundak saya, berjalan dari Madinah sampai Kota Mekah untuk melaksanakan ibadah haji.”
Seketika itu pula, Rasulullah menangis. Kemudian Rasul menjawab dengan diiringi tangisnya yang tersedu-sedu, “Wahai saudaraku, engkau sungguh anak yang luar biasa, engkau benar2 anak sholeh. Tapi maaf, apapun yang kamu lakukan di dunia ini untuk membahagiakan orang tuamu, apapun usaha kerasmu untuk menyenangkan orang tuamu, tidak akan pernah bisa membalas jasa orang tuamu yang telah membesarkanmu.”


Apen S. McCalister

Sabtu, 14 Mei 2016

Kau dan Aku



Engkau dan aku, kita bukan manusia sempurna, kadang kita sependapat, lebih sering kita berbeda pandangan
Tapi hidup ini memang penuh warna hingga tak semua harus sama dan serupa, adakalanya beda itu kaya
Memang kita tak lahir di tempat yang sama, kita terpisah pula oleh budaya, dibesarkan dengan cara tersendiri
Tapi kita disatukan oleh ikatan yang istimewa, yang datang dari pengakuan sempurna akan Pencipta kita dan cinta
Dengan ikatan yang lebih kuat dari benci, lebih panjang dari lintas masa, bertahan saat jauh, lebih dari dunia
Ikatan itu memberi kita tujuan dan arah, menjadi pelipur dalam lara, menjadi syahdu dalam bahagia
Bersama kita menjalani kehidupan, saling mendukung, berkorban agar yang lain bahagia, cinta karena Allah
Di belakang sudah banyak yang kita lewati, di depan masih banyak yang menanti, asalkan bersama dijalani
Biar aku memimpin di depan, jadilah temanku yang menjaga, menemani dan mendampingiku selalu disisi
Ada banyak saat aku tak mampu menjadi yang terbaik bagimu, maka maafkanlah, doakan aku tanpa bosan
Dan bila saat nanti waktunya datang, semoga ampunan Allah bagi kita, aku bagimu dan engkau bagiku


Apen S. McCalister

Rabu, 04 Mei 2016

Puspitaku

Puspitaku
Karya: Apen Sumardi

Ketika waktuku habis terbakar.
Dan mulai lelah bersama badai
yang mengamuk.
 Melukis cahaya saja hatiku kelu. Aku mengerti
mengapa kamu diciptakan.

Pasir dan debu adalah sahabatku.
Ombak dan pantai adalah
sepasang kekasih.
Lalu aku mulai bernyanyi. Aku mengerti
mengapa kamu diciptakan.

Puspitaku, yang tak pernah pudar
bersama waktu.
Nyawaku-nyawamu dijodohkan surga.
Warna-warnaku berkelip. Bersamamu
aku ingin melukis sejarah.
Kepada Tuhan aku bercerita.
Kepada Tuhan aku merayu.
Aku hanya ingin bersamamu.

Cikarang, 4 Mei 2016


Apen S. McCalister